Senin, 28 Februari 2011

Menumbuhkan Kepercayaan

Kepercayaan menentukan efektifitas komunikasi, secara ilmiah “percaya” didefinisikan sebagai mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dihendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko” (Jalaluddin, 2007). Kepercayaan dalam sebuah hubungan konseling akan meningkatkan keefektifan komunikasi interpersonal dalam proses konseling, karena dapat membuka saluran komunikasi, memperjelas penyampaian dan penerimaan pesan, serta memperluas peluang untuk mencapai maksud dari komunikasi tersebut. Kepercayaan konselor pada konseli dan begitu juga sebaliknya sangat berperan penting, untuk menunjukan keterbukaan, konselor pun harus mendapatkan kepercayaan dari konseli dan konseli harus mendapatkan kepercayaan dari konselor. Kepercayaan bahwa dia akan didengarkan, kepercayaan bahwa mereka saling menerima diri apa adanya, kepercayaan bahwa semua kebutuhannya akan terpenuhi, serta kepercayaan bahwa semua konflik akan diselesaikan bersama-sama.

Kepercayaan akan melahirkan pengertian. Pengertian tersebut akan menghindari kegagalan komunikasi primer. Jika salah satu dari konselor atau konseli menghilangkan kepercayaannya, maka perkembangan hubungan interpersonal yang akrab akan terhambat. Bila konselor bersikap tidak jujur dan tidak terbuka, maka konseli pun akan memberikan respon yang sama. Hubungan yang dangkal dan tidak mendalam akan timbul sebagai akibatnya.

Keterbukaan sebuah komunikasi interpersonal dalam konseling pasti terkait dengan keterampilan menyampaikan pesan secara jujur. Keterampilan menyampaikan pesan secara jujur atau yang lebih sering disebut kejujuran merupakan faktor yang sangat penting karena kejujuran itu menumbuhkan rasa percaya. Konseli yang datang pada konselor cenderung ingin diterima dengan apa adanya, belum lagi keinginan konseli untuk mengalami komunikasi yang terbuka,. Dan apabila sikap tersebut tidak diterima secara terbuka dan jujur oleh konselor, maka sikap jujur tersebut justru akan berbalik menjadi “penopengan”, dimana konseli akan menutup diri dan menutup-nutupi pesan yang seharusnya disampaikan secara terbuka dan jujur kepada konselor.

“Penerimaan” dan “menerima” adalah kemampuan berhubungan dengan orang lain tanpa menilai dan tanpa berusaha mengendalikan (Jalaluddin Rakhmat, 2007). Menerima adalah sikap yang melihat orang lain sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai. Konseli mengharap konselor menerima dirinya sebagaimana adanya, konseli tidak ingin dinilai atau diatur secara berlebihan. Konseli ingin dipandang realistis. Namun sikap menerima tidaklah semudah yang dikatakan, terkadang kita sebagai manusia cenderung lebih suka menilai dan sulit menerima. Akibatnya hubungan interpersonal yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Bila konselor tidak memiliki sikap penerimaan terhadap konseli dalam berkomunikasi, konselor cenderung menhakimi, mengkritik dengan berlebihan, mengecam, dan meniali. Sikap seperti itu justru akan menghancurkan rasa percaya konseli terhadapnya. Sikap menerima menggerakan rasa percaya, karena konselor yang memiliki rasa penerimaan yang baik tidak akan merasa dirugikan oleh konseli. Carl Rogers (dalam Jalaluddin, 2007) menyatakan bahwa “saya ingin menyatakan, sebagai hipotesis untuk dipikirkan, bahwa penghalang utama komunikasi interpersonal timbal-balik adalah kecenderungan manusia yang alamiah untuk menilai, mengevaluasi, meyetujui atau menolak”. konselor yang menerima konseli dalam proses konseling bukan berarti menyetujui semua perilaku salah konseli. Bukan berarti juga konselor ikhlas menerima dan menanggung resiko dari perilaku konseli. Menerima berarti tidak menilai konseli berdasarkan perilakunya yang tidak disenangi. Betapapun jeleknya perilku konseli dimata orang, namun konselor tetaplah harus berkomunikasi terhadap konseli secara person to person, sebagai pribadi.

Membuat konseli merasa didengarkan pun ternyata dapat menumbuhkan kepercayaan konseli kepada konselor. Namun, terkadang kita tidak peka dengan apa yang kita dengar (yang disampaikan konseli). Konselor harus mempunyai “pendengaran” yang peka, baik dan sabar dalam “mendengarkan”. Memiliki seni mendengar yang baik merupakan salah satu modal konselor dalam menumbuhkan kepercayaan konselinya. Seni mendengarkan, membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan mendengarkan, hingga sang pendengar dapat memahami sepenuhnya kompleksitas emosi dan pikiran orang yang sedang berbicara. Bahkan, sang pendengar mampu memahami apa yang terjadi / yang dirasakan oleh lawan bicara meski dengan kata-kata yang sangat minimal. Berikut merupakan beberapa hal yang penting dalam meningkatkan keterampilan “mendengar”

1. Fokuskan perhatian pada konseli

Pada saat konseli mencoba mengatakan sesuatu, hendaknya konselor memberi perhatian penuh pada ceritanya. Untuk itu, alangkah baiknya jika konselor mengalihkan perhatian sejenak dari kegiatan yang sedang dikerjakannya Tataplah langsung mata konseli sambil memberi kesan bahwa konselor benar-benar siap memperhatikan ceritanya, dan mendorongnya untuk bercerita.

2. Re-statement, mengulangi cerita konselor untuk menyamakan pengertian

Konselor harus menahan diri untuk tidak menginterupsi atau memotong cerita sampai konseli selesai bercerita. Ketika konseli selesai bercerita, cobalah memberikan kesimpulan berdasarkan hasil tanggapan terhadap ceritanya. Pola ini, memberikan feedback bagi konselor dan konseli, apakah konselor benar-benar telah memahami apa yang diceritakan atau apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh konseli.

3. Menggali perasaan dan pendapat konseli akan masalah yang sedang dihadapi

Konselor boleh bertanya untuk mengali perasaan konseli. Namun jangan memberikan penilaian yang negatif karena penilaian tersebut malah membuat konseli frustrasi karena konseli mengharap konselor bisa mengerti perasaan mereka, bukan menilai sikap dan perasaan mereka. Selain itu, penilaian subyektif konselor yang datang terlalu cepat, bisa membuat konseli menarik diri untuk tidak lebih lanjut menceritakan perasaan yang sebenarnya, karena konselor sudah punya anggapan tertentu.

4. Bantu konseli untuk mendefinisikan perasaan

Mendengarkan sepenuhnya cerita dan pengalaman konseli, baik itu menyedihkan dan menyenangkan, membuat konselor-konseli dapat berbagi rasa dan konseli pun akan merasa konselor menghargainya. konseli akan biasa bersikap terbuka karena yakin konselor pasti bersedia mendengarkan mereka. Jika konseli masih sulit mengidentifikasi perasaan mereka, bantulah dengan mendengarkan cerita mereka sungguh-sungguh, dan memberi kesan.

Hindari sikap memaksakan pendapat, cara, dan penilaian . Alangkah lebih baik jika konselor membimbing konseli dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka semakin memahami kejadian yang dialami, teman yang dihadapi, perasaan yang mereka rasakan serta sikap - tindakan yang harus mereka lakukan sebagai pemecahannya.

Bagi konseli, komunikasi dalam proses konseling bukan hanya bertujuan untuk membuat konselor atau orang lain mengetahui dan memenuhi kebutuhannya. Dari komunikasi itu lah, konseli dapat menarik kesimpulan, bagaimana konselor memandang dirinya; dan dari kesan ini lah konseli membangun rasa percaya diri dan sense of self. Konseli akan merasa dihargai, merasa percaya diri dan mengembangkan penilaian positif terhadap dirinya, ketika konselor menaruh perhatian tidak hanya pada ceritanya, tapi juga pada pendapat, keyakinan, kesimpulan, ide-ide, perasaan, bahkan ketika pendapat tersebut tidak sesuai dengan pendapat konselor. Sikap konselor yang “mendengarkan”, membuat konseli berani membuat perbedaan dan menjadi berbeda, tanpa takut dihukum, dilecehkan atau ditertawakan. Hal itulah yang menjadi salah satu landasan keberanian dan keinginan konseli, untuk menjadi diri sendiri apa adanya.

Daftar Pustaka

Depdikbud (1999). Kamus Besar Bahasa indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Nurihsan, Juntika (2006). Bimbingan dan Konseling Dalam berbagai Latar Kehidupan. Bandung: Refika Aditama

Rakhmat. Jalaluddin (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosda Karya

Willis Sofyan (2004). Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung :Alfabeta

Tidak ada komentar: