Senin, 28 Februari 2011

KONSEP DASAR TEORI KEPRIBADIAN

Teori dapat diartikan sebuah model tentang kenyataan yang membantu kita untuk memahami, menjelaskan, memprediksi dan mengontrol tentang kenyataan tersebut. Adapun kepribadian berasal dari personality yang berarti topeng; arti disini dipakai sebagai gambaran identitas diri, kesan umum, dan fungsi-fungsi kepribadian yang sehat.

Manusia merupakan makhluk yang sangat kompleks baik dari segi kepribadian karena harus mampu mengapresiasi tentang dirinya sendidri serta menyadari dan mengontrol yang menentukan tingkah laku.

Dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Wabishah bin Ma’bad. ”aku mendatangi rasullah,lalu rasul bersabda ”apakah kau datang untuk menanyakan apa itu kebaikan?,lalu kujawab’iya’. Lalu rasulullah bersabda,” tanyalah hatimu! kebaikan adalahsesuatu yang dapat menenangkan dirimu dan hatimu. Sedangkan keburukan ialah sesuatu yang dapat meresahkan diri dan bergejolak dalam dadamu. Apabila manusia memalingkanmu, maka sesungguhnya aku telah memberikanmu nasihat.”(HR.AHMAD)

pola kepribadian menurut Elizabeth B. Hurlock (1986) pola merupakan suatu penyatuan struktur yang multi dimensi yang terdiri atas ’self-concept’ sebagai inti pusat kepribadian dan ’traits’ sebagai sturktur yang mengintegrasikan kecenderungan pola-pola respon. Selain itu kita memberikan sebuah keseimbangan dari dalam diri dalam ketenangan jiwa dan pribadi yang selalu tenang.

Perubahan kepribadian terlihat dari fisik, lingkungan sosial budaya,dan internal selain itu faktor lain seperti pembentukan akidah, pembentukan ibadah, membentuk interaksi sosial, membentuk akhlak dan emosi, pembentukan fisik, dan pola berpikir.

Dari segi karakteristik dan model kepribadian dibagi dalam beberapa golongan kaum beriman,kaum munafik,dan kaum kafir. Kepribadian yang sehat memberikan sebuah respon positif terhadap hal yang negatif yang sedang terjadi.

Referensi :

Prof.Dr.Syamsu Yusuf LN,M.Pd.,Dr.Achmad Juntika Nurihsan,M.Pd. (2007). Teori Kepribadian . Bandung : Remaja RosdaKaraya .

Dr.Musfir bin Said Az-Zahrani .(2005).Konseling Terap. Jakarta : Gema Insani Press

Konseling Lintas Budaya

PENGERTIAN BUDAYA


Tokoh pendidikan nasional bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut: Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu:


1. merupakan produk budidaya manusia,

2. menentukan ciri seseorang,

3. manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.



PENGERTIAN KONSELING


Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangn dirinya,dan untuk mencapai perkembangan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya ,proses tersebuat dapat terjadi setiap waktu. (Division of Conseling Psychologi). Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketiga hal tersebut. (Berdnard & Fullmer ,1969) Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu:

1. adanya hubungan,

2. adanya dua individu atau lebih,

3. adanya proses,

4. membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.


KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA

Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecahbelah secara meningkat pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21.


Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang memberi artinya.


Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994).


Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam menggunakan pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja
dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.

Tampaknya konsep konseling lintas budaya yang melingkupi dua pendekatan tersebut dapat dipadukan sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabelvariabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).


Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara
kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6).


Maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.


Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".


Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling. Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:

1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;

2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan

3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.

Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:

1. latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,

2. latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien,

3. asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan

4. nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.

5. Nah, dari uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu:

6. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.

7. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral

8. Memahami bahwa kekuatan susio-politik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok

9. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup

10. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.

Helper dan Helpee

Siapakah Helper itu?

Helper adalah orang yang mampu membantu orang lain baik dalam hal memahami atau mengatasi masalah orang lain. Helper dapat terbagi menjadi tiga yaitu; helper professional, helper paraprofessional, helper non professional.

Helper Profesional

Seseorang yang ahli dan terlatih dalam membantu indivdu dan telah menempuh tingkat kelulusan ektensif dalam studi tentang perilaku individu, strategi pemberian bantuan, dan memiliki pengalaman dalam pemberian bantuan kepada individu atau kelompok. Pendidikan professional memberikan suati forum interaksi interdisipliner dan pengalaman atas pengetahuan umum untuk seluruh profesi pemberi bantuan. Kemudian, perbedaan dan persamaan antara helper professional lebih bergantung pada gaya perorangan dan prakteknya dibandingkan dengan identitas professional.

Misalnya, seorang konselor agar menjadi konselor professional maka ia harus menempuh jenjang pendidikan konselor, sertifikasi, dan memiliki pengalaman dalam konseling.

Helper professional harus dapat memberikan bantuan secara individual atau secara kelompok.

Helper Paraprofesional

Helper paraprofessional diantaranya adalah asisten atau teknisi psikiater, pekerja yang menangani anak jalanan, staff day care, dan penjaga gereja. Kebanyakan helper paraprofessional bekerja secara formal atau informal. Biasanya mereka menerima pelatihan kemanusiaan dan bekerja dalam tim dengan helper professional. Biasanya mereka (helper paraprofessional) sebagai pengawal.

Helper Nonprofessional

Kelompok helper nonprofessional terdiri dari orang-orang yang memberikan bantuan penting pada dasar formal (pewawancara, supervisor, guru) maupun pada dasar yang informal (teman, saudara, kolega). Kelompok ini tidak menerima pelatihan formal sebagai helper, tetapi mereka dapat mengikuti seminar-seminar atau pertemuan-pertemuan tentng berbagai persoalan yang menyangkut kemanusiaan.

Kesimpulannya adalah; semua helper baik helper professional, paraprofessional, dan nonprofessional harus menggunakan keterampilan-keterampilan komunikasi secara efektif. Mereka juga harus mengembangkan hubunngan pemberian bantuan dengan orang yang mereka bantu. Mereka harus menetapkan strategi tertentu dalam pemberian bantuan. Strategi-strategi tersebut membutuhkan pelatihan formal dan penglaman.

Bagaimana Seorang Helper yang Sukses

Helper yang sukses adalah helper yang memiliki berbagai pendekatan dan strategi dalam membantu orang lain. Helper pun memiliki alternatif-alternatif lain yang khas seperti kepribadian helper ketika membantu orang lain. Setiap persepsi, sikap, pemikiran, dan perasaan seseorang mempengaruhi interpretasi dan aplikasi helper terhadap suatu teori, kefektifan dari strategi yang diberikan itu tergantung pada tingkat kepercayaan helper dan helpee.

Kepercayaan dikembangkan dengan menggunakan keterampilan komunikasi yang essensial bagi keefektifan proses pemeberian bantuan secara keseluruhan.

Dalam menerapkan berbagai strategi bantuan helper harus mampu bekerjasama dengan orang lain dalam ranah afektif (berhubungan dengan perasaan atau emosi), ranah kognitif (pikiran dan intelektual), ranah behavioral (tinadakan dan perbuatan) agar helpee merasa nyaman.

Pada akhirnya helper harus terus menerus mengembangkan pemahaman atas dirinya sendiri, mereka perlu mengklarifikasi nilai-nilai sosial, ekonomi, dan budaya mereka dengan tujuan untuk mengenali dan memisahkan antara kebutuhan dan masalah helper dengan kebutuhan dan masalah klien. Strategi yang dipilih untuk pemberian bantuan formal terhadap klien tertentu bisa saja bergantung pada penilaian helpee atas kekurangan-kekurangan dalam ranah tertentu, begitu pula perspektif teoritis helper.

Kesimpulannya, bahwa:

- Orang yang berbeda memerlukan bantuan dalam area keberfungsian yang berbeda pula.

- Helper yang sukses cenderung untuk mencocokan strategi terhadap kebutuhan perorangan helpee dari pada menempatkan strategi dengan cara yang sama sepanjang waktu.

- Terkadang strategi yang efektif secara relative cukup sederhana dan dapat digunakan oleh seseorang yang belum pernah mengalami pelatihan professional.

Konseling

Konseling merupakan bentuk pemberian bantuan professional, paraprofessional, dan non[rofesional. Istilah konselir dapat digantikan dengan helper sedangkan klien digantikan dengan helpee.

Keterampilan komunikasi dasar yang dibahas dalam buku ini dapat dipakai dan diterapkan dalam pemberian bantuan formal maupun informal, dan dalam hubungan pemberian bantuan yang professional, paraprofessional, dan nonprofessional. Kebanyakan kontribusi pelatihan professional telah dikembangkan agar helper paraprofessional dapat lebih efektif.

Banyak anggapan konseling sebagai seni dan ilmu. Merupakan suatu seni dalam pandangan bahwa kepribadian, nilai-nilai, dan sikap konselor merupakan variable subjektif dalam proses konseling yang sulit diukur dan dijelaskan. Merupakan suatu ilmu, kebanyakan apa kita tahu tentang perilaku manusia dan beberapa strategi pemberian bantuan telah dikembangkan menjadi system konseling yang terstruktur, dapat diukur, dan objektif. Konseling dapat dianggap sebagai suatu proses dengan dua bagian atau tahapan: tahap pertama lebih pada suatu seni dan tahap kedua lebih pada suatu ilmu. Dan gaya penyampaian konselor mungkin saja merupakan suatu seni yang dipraktekkan melalui hubungan pemberian bantuan secara keseluruhan.

Dua Tahap Konseling

Tahap pertama dalam pemberian bantuan adalah helper (konselor) dan helpee (konseli) saling membangun kepercayaan terhadap satu sama lain dan helper member dukungan kepada helpee dalam hal keterbukaan diri dengan tujuan untuk menyingkap dan mengeksplorasi sebanyak mungkin informasi dan perasaan-perasaan. Eksplorasi ini membuat helper dan helpee mampu untuk menentikan tujuan dan sasaran pemberian bantuan dan juga arah dari proses pemberian bantuan tersebut.

Tahap kedua dari proses pemberian bantuan adalah membandingkan strategi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang mana membawa sesi terinasi dan follow up.

Tahapan pemberian bantuan ini merupakan beberapa persoalan bagi helper praprofessional namun normalnya merupakan cakupan helper professional. Meskipun helper nonprofessional tidak terlibat pada tahap ini, mereka tetap memerlukan pengetahuan elementer tentang teori dan aplikasi, strategi-strategi pemeberian bantuandalam hubungan pemberian bantuan professional dan paraprofessional dengan tujuan untuk memahami dan menggunakan sumber-sumber layanan kemanusiaan dengan tepat.

Kesuksesan dalam tahap kedua adalah bergantung pada seberapa efektif keterampilan komunikasi dalam membangun hubungan pemberian bantuan yang positif selama tahap pertama. Helper harus ingat bahwa ada perbedaan-perbedaan cultural dalam hal mengekspresikan empati, dengan kata lain apa yang menjadi perilaku empati bagi seorang helpee bisa sajat tidak sesuai (missal: menyentuh). Begitu pula pemilihan strategi juga akan dipengaruhi oleh factor cultural. Sensitivitas terhadap nuansa dan implikasi varabel kulutral akan membantu seseorang untuk menjadi efektif terhadap klien yang berasal dari berbagai latar belakang.

Model Konseling Kemanusiaan

Konseling kemanusiaan menekankan pada client-centered, hubungan pemberian bantuan problem-solving dimana perubahan perilaku dan tindakan dapat dihasilkan dari satu atau dua hal berikut:

  1. Eksplorasi dan pemahaman klien terhadapa perasaan, pemikiran, dan tindakan mereka, atau
  2. Pemahaman klien dan keputusannya untuk memodifikasi lingkungan sekitar dan variable-variabel sistemik.

Strategi kognitif, afektif, atau behavioral digunakan secara terpisah ataupun tergabung saat helper dan helpee menentukan waktu dan kebutuhan yang sesuai. Dan beberapa strategi mengkombinasikan berbagai aspek tentang beberapa teori formal. Asumsi teoritis tentang model konseling kemanusiaan merefleksikan pengaruh eksistensial dan behavioristik, dasar asumsi itu adalah sebagai berikut:

  1. Seseorang bertanggung jawab terhadap dan mampu untuk membuat keputusannya.
  2. Individu dikendalikan menuju peningkatan tertentu oleh lingkungan mereka, akan tetapi mereka mampu untuk mengarahkan kehidupan mereka lebih dari apa yang mereka sadari, mereka selalu memiliki kebebasan untuk memilih bahkan jika pilihan mereka dihalangi oleh variable environmental atau kesatuan biologis atau juga predisposisi kepribadian.
  3. Perilaku merupakan sesuatu yang purposive dan mengarah pada tujuan. Individu terus menerus bergerak menuju pemenuhan kebutuhan mereka, dari mulau kebutuhan psikologis dasar sampai pada aktualisasi diri yang abstrak.
  4. Individu ingin merasa nyaman terhadap dirinya dan secara terus menerus membutuhkan konfirmasi positif tentang pemaknaan diri mereka dari orang-orang yang dianggap penting. Mereka ingin merasakan dan berpeilaku secara kongruen untuk mengurangi disonasi antara kenyataan-kenyataan internal dan eksternal.
  5. Individu mampu mempelajari perilaku yang baru tetapi perilaku yang telah ada tidak dipelajari dan perilaku tersebut merupakan subjek untuk konsekuensi environmental dan internal dari perilaku mereka, yang kemudian menjadi keteguhan (reinforcement) karena mereka bergerak menuju suatu peneguhan yang bermakna dan sesuai dengan nilai-nilai personal dan system kepercayaan mereka.
  6. Masalah pribadi seseorang bisa saja muncul dari urusan yang tidak terselesaikan atau konflik yang tidak tertangani. Meskipun beberapa eksplorasi tentang sebab akibat bisa jadi menguntungkan dalam kasus tertentu kebanyakan masalah dapat ditangani dengan cara memfokuskan pada saat ini dan di sini.
  7. Masalah yang banyak dialami oleh individu sekarang ini adalah masalah kemasyarakatan atau sistemik daripada permasalahan interpersonal atau intrapersonal. Individu mampu untuk mempelajari efek dari pilihan dan perubahan system internal maupun system eksternal.

Model konseling kemanusiaan juga menekankan pada identifikasi mutual oleh helper dan helpee terhadap sasaran, tujuan dan strategi intervensi yang kesuksesannya dapat di evaluasi menurut perubahan perilaku yang dapat diamati dalam diri helpee. Model ini menyajikan pendekatan eklektik didalamnya yang menggunakan berbagai teknik dan strategi konseling untuk mempengaruhi perubahan, akan tetapi sasaran utama untuk berubah menunjuk pada perkembangan dan pemeliharaan hubungan yang hangat, empatik dan melibatkan secara personal.

Implikasi utama dari model konseling kemanusiaan bagi helper (konselor) adalah sebagai berikut:

* Mendefinisikan keterampilan komunikasi sebagai inti dari hubungan kemanusiaan yang efektif.

* Memberikan keterampilan komunikasi terseut untuk diajarkan kepada para helper dalam segala jenis hubungan pemberian bantuan.

* Memberikan ruang untuk diversitas dan fleksibilitas sehingga helper dapat mempelajari beragam strategi intervensi yang bisa jadi efektif jika hubungan pemberian bantuan yang sukses dikembangkan dan dipelihara.

* Memodifikasi dan mengintegrasikan beragam pendidikan dan strategi.

* Memberi versalitas dan fleksibilitas yang diperlukan unuk memnuhi kebutuhan populasi yang heerogen.

* Bermanfaat untuk menangani perasaan, pemikiran dan perilaku dalam jangka pendek, mempraktekkan perilaku yang berhubungan dengan kehidupan helpee.

* Memfokuskan pada aspek positif daripada aspek negative dalam hidup helpee (yakni dimana pada aspek tersebut seseorang bisa berubah dibandingkan aspek pada orang yang tidak memiliki control.

Kesimpulan

Dari uraian di atas pemberi bantuan terbagi tiga yaitu professional, paraprofessional, dan nonprofesiona. Ketiga jenis pemberi bantuan itu sangat penting dan berkaitan. Mereka semua bekerja sama dalam proses pemberian bantuan kepada klien. Tetapi tingkatan akademik dari ketiga jenis pemberi bantuan itu jelas berbeda.

Dalam pemberian bantuan kita perlu mempelajari keterampilan komunikasi dan pengetahuan tentang pemberian bantuan. Baik pemberi bantuan professional, paraprofessional, dan nonprofessional pun semuanya harus memililki kemampuan berkomunikasi yang baik sertta memiliki strategi-strategi membantu individu yang khas sebagai pemberi bantuan kepada klien.

Kesuksesan dalam konseling adalah bergantung pada seberapa efektif keterampilan komunikasi dalam membangun hubungan pemberian bantuan yang positif. Helper harus ingat bahwa ada perbedaan-perbedaan cultural dalam hal mengekspresikan empati dan bahasa nonverbal (missal: menyentuh). Begitu pula pemilihan strategi juga akan dipengaruhi oleh factor cultural.

Konseling kemanusiaan adalah proses konseling yang memfokuskan pada klien dalam hal memberikan bantuan. Konseling kemanusiaan ini harus selalu dikembangkan agar individu yang membutuhkan pertolongan tidak akan segan dalam meminta bantuan kepada pemberi bantuan baik yang professional dan paraprofessional.